Literasi yang Mencerdaskan

Kepala Perpusna Muhammad Syarif Bando | Foto iNews


Notula Temu Ramah dan Dialog Kepala Perpustakaan Nasional dengan Komunitas Literasi di Aceh

Tema                          : Literasi yang Mencerdaskan
Narasumber              : Drs. Muhammad Syarif Bando, M.M (Kepala Perpustakaan Nasional RI)
                                    : Dr. Wildan Abdullah (Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Aceh)
Moderator                  : Yarmen Dinamika (Redaktur Pelaksana Harian Serambi Indonesia dan Pembina Forum Aceh Menulis)
Hari dan Tanggal      : Rabu, 18 Juli 2018
Tempat                       : Aula Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Aceh
Notulis                        : Ihan
Peserta                       : 100 +
Waktu                         : Pukul 09.30-12.00 WIB

Yarmen Dinamika:
Terima kasih atas kesediaannya memanfaatkan forum ini untuk temu ramah. Selama ini kami tahu nama Bapak Syarif Bando dari koran-koran dan media saja. Di Aceh sangat banyak pegiat literasi. Penulis novel terbaik ada di Aceh, pembaca puisi terbaik juga ada di Aceh.

Ada kurang lebih 12 komunitas pegiat literasi yang hadir hari ini. Pertama saya ingin kenalkan Forum Aceh Menulis (FAMe), lembaga yang lahir sebelas bulan lalu dan sudah mempunyai sembilan cabang di seluruh Aceh. Namun ini masih sedikit karena Aceh punya 23 kabupaten/kota. Anggotanya sudah lebih dari seribu orang. Di sini kita juga belajar mengenai public speaking dan belajar bahasa Indonesia yang baik dan santun.

Yarmen Dinamika lantas memperkenalkan satu-persatu komunitas/lembaga yang hadir sebagai peserta.

Wildan Abdullah:

Kegiatan ini tidak direncanakan. Semua persiapannya dilakukan dengan sangat mendadak. Di samping saya ini sudah hadir Bapak Syarif Bando, beliau Kepala Perpustakaan Nasional RI. Saya baru kenal beliau sekitar setengah jam yang lalu, karena saya baru bertugas di sini sekitar 2,5 bulan. Beliau ke sini dalam rangka tugas dan mengawali roadshow-nya di Aceh Utara.

Bisa kita bilang beliau ini dirampok atau dibajak. Bersama kita juga turut hadir pustakawan Samsul Bahri yang berasal dari Lhoknga, Aceh Besar.

Kelas FAMe ini semula bergerilya dari kantor ke kantor yang lain, ketika saya masuk ke sini saya tawarkan agar mereka bisa menggunakan fasilitas aula yang ada di Arpus ini. Arpus ini harus menjadi rumah besar literasi. Ini terbuka bagi semua komunitas literasi yang ada di Aceh. Ini fasilitas negara yang harus kita manfaatkan dengan baik.


Drs. Muhammad Syarif Bando, M.M:

Kebanggaan tersendiri bagi saya bisa berbagi di sini. Saya suka mengembara di Nusantara ini, terutama lewat darat karena itu juga bagian dari belajar. Delapan tahun terakhir saya bertugas di Jakarta, sekitar 400 kabupaten/kota telah saya kunjungi. Ada dua kesimpulan yang bisa saya katakan. Pertama, Indonesia adalah negara dengan sumber daya alam terkaya di dunia. Kedua, sumber daya manusia kita masih terbatas untuk mengelola itu semua.

Itulah sebabnya literasi menjadi penting. Mengapa kita harus membaca, karena itu perintah Allah. Iqra’. Bacalah.

Definisi Literasi:
Ø  Kemampuan seseorang mengumpulkan informasi dari sumber-sumber bacaan berupa buku, koran, majalah, serta sumber lainnya.
Ø  Kemampuan seseorang memahami yang tersirat dari yang tersurat.
Ø  Kemampuan seseorang dalam mengemukakan ide-ide sesuai informasi dan pengetahuan yang dimiliki.
Ø  Kemampuan seseorang/korporasi/lembaga untuk menghasilkan barang/jasa dari informasi dan pengetahuan yang dikuasai.



Segala sesuatu yang tidak ada ilmunya jadi murah atau tidak ada harganya. Itulah pentingnya berliterasi. Misalnya, minyak mentah kita dijual ke Singapura lalu diolah di sana dan dijual kembali ke Indonesia dengan harga berbeda. Kelapa kita dijual mentah lalu di luar diolah menjadi santan Kara. Inilah yang membuat literasi menjadi penting.

Di sinilah kita harus percaya bahwa buku itu sangat penting. Karena yang bisa mengedukasi kita untuk memiliki kepercayaan diri dan kekuatan hanya buku. Zaman sekarang kita tidak lagi berperang secara konvensional, tetapi perang berpikir. Jika dulu kita dijajah Belanda, maka sekarang kita belajar ke Belanda hanya untuk mempelajari buku-buku yang dulu mereka rampok dari negara kita. Belanda adalah negara yang daratannya 6 meter lebih rendah dari permukaan laut tetapi belum pernah kita dengar mereka kebanjiran. Semua itu karena ilmu pengetahuan.

Apa yang dilakukan Belanda kemudian? Mereka mendirikan International Monetary Fun (IMF). Mereka juga mendirikan Organization for Identity and Cultural Development (OICD), lembaga inilah yang melahirkan informasi minat baca di Indonesia rendah.

Perpustakaan adalah:
Ø  Rumah mahasiswa, pelajar, dan masyarakat dalam melakukan inovasi untuk berubah ke arah yang lebih baik.
Ø  Tempat para penulis, peneliti, penerbit, ilmuwan, agamawan, wartawan, budayawan, dan politikus membedah buku untuk membangun peradaban bangsa.
Ø  Tempat untuk mengumpulkan, mengolah, mendayagunakan dan menyimpan produk budaya berupa karya tulis, karya cetak, karya rekam, buku digital, dan hasil pemikiran putra-putri bangsa.
Ø  Wadah mengemban mandat UNESCO untuk mewujudkan fungsi yang berorientasi pada layanan nasional warisan budaya dan infrastruktur budaya.
Ø  Institusi terpenting untuk menemukan solusi menghapuskan belenggu kebodohan dan kemiskinan.



Jangan sampai pustaka di Aceh menerbitkan buku daerah lain dan dibanggakan pula. Jangan harap menemukan buku tentang Aceh kalau Anda menunjuk orang dari daerah lain untuk menuliskannya. Buku tentang Aceh harus ditulis oleh orang Aceh sendiri. Dananya dari mana? Manfaatkan dana Otonomi Khusus, dana APBD, jauh lebih penting dianggarkan untuk menulis daripada cuma sosialisasi saja.

Contohnya di Kalimantan Barat, dana untuk menulis buku dianggarkan dari APBD. Jika penulisnya sudah menyelesaikan draft-nya akan dibayar Rp5 juta, kalau sudah cetak Rp20 juta. Ini menginspirasi pemerintah untuk menganggarkan lebih banyak lagi. Ini akan memicu minat menulis yang tinggi dan penulis akan tumbuh pesat. Siapa tahu Aceh bisa menjadi pilot project untuk ini. Namun semuanya tergantung komitmen bersama.

Zaman telah berubah, seorang pustakawan bukan lagi tugasnya hanya membeli buku dan menaruh di rak. Pustakawan bergerak dalam rangka knowledge mobilization, pustakawan harus berkarya. Begitu juga dengan paradigma PNS yang harus diubah, tapi kalau tidak ada bahan apa yang akan diubah? Cara mengubahnya ya dengan banyak membaca buku. Setiap orang dianugerahi tak kurang dari satu juta neuron, semakin banyak membaca neuron ini akan tersambung satu sama lainnya yang membuat seseorang makin cerdas.

“Anda sekolah belum tentu membaca. Anda membaca sudah tentu sekolah”

Orang-orang dulu tidak banyak gelar, tetapi mereka banyak membaca seperti Malcolm X, Martin Luther King, dan Nelson Mandela.


Tanya Jawab:
Penanya:

Fadhli:
Pemaparan tadi sesuai dengan misi yang saya emban. Saya ingin mengubah paradigma masyarakat di Aceh, termasuk para penggalas (mugee) ikan bagaimana caranya mereka tidak lagi berdagang secara tradisional tetapi harus dengan ilmu.

Muazzinah:
Ada beberapa hal yang menarik yang saya dapatkan hari ini, pertama saya melihat bawa konsep literasi tadi memaksa kita library minded, tapi ini tak bisa sendiri harus melibatkan lingkungan juga. Jadi pintarnya ramai-ramai. Di desa-desa sudah ada pustaka desa, tapi perangkat desanya belum terbuka dengan keberadaan pustaka desa ini. Kedua, Aceh harus ‘merdeka’ karena secara literasi kita belum merdeka.

Alfiatunnur:
Saya penerima penghargaan dari Perpustakaan Nasional. Penerima bantuan motor literasi dari Arpus.

Bagaimana TBM bisa bersinergi dengan Arpusnas dan wilayah?
Apakah perpustakaan bisa memfasilitasi penerbitan?
Apakah TBM bisa terkoneksi dengan Arpus Aceh?

Ruslan:
Prodi Pustaka di UIN Ar-Raniry yang tertua di Indonesia. Penulisan naskah tertua di Aceh ada di Tanoh Abe, Seulimuem, Aceh Besar. Saran untuk Dinas Arsip dan Perpustakaan Aceh agar mengusulkan peraturan gubernur yang berkaitan dengan literasi.

Cut Rahmawati:
Anak-anak dan remaja kekurangan buku bacaan.

Fadhli:
Kebijakan yang dibuat di Aceh seringkali tak berbasis literasi sehingga muncul kebijakan-kebijakan yang aneh karena rendahnya daya nalar dan imajinasi kita.

Jawaban:
1.     Terima kasih untuk Pak Fadhli kita memang telah bekerja sama cukup lama.
2.     Yang perlu kita pahami yaitu rasanya tidak ada orang yang mau membaca enam jam sehari. Bila kita bicara literasi esensinya adalah bagaimana bisa mengedukasi masyarakat agar mendapatkan peluang ekonomi baru. Contohnya seperti gerakan literasi di Cina, mereka membentuk komunitas-komunitas di desa anggotanya tidak boleh lebih dari 25 orang. Awalnya anggotanya ada yang buta huruf, pegiat literasinya datang ke sawah-sawah untuk mengedukasi masyarakat. Contohnya ada peternak bebek yang awalnya bebeknya cuma belasan ekor, belakangan menjadi ribuan. Ini karena kehadiran kelompok literasi mendukung cara petani mengembangkan bebek peking. Satu kelompok ekonomi dibekali dengan banyak buku terkait usaha yang mereka lakukan.
3.     Indonesia memang masih kelaparan buku, rasionya 1:15 ribu orang. Ini yang harus saya katakan, mari kita gugat sedikit perguruan tinggi. Mana buku-buku yang dihasilkan akademisi. Jangan sampai kampus didemo oleh pengangguran atau petani.
4.     Suplai buku untuk pustaka desa sudah diatur dalam UU Tentang Desa Nomor 6.  Salah satu yang dibangun adalah sarana pendidikan bagi masyarakat. Hanya saja masyarakat kita masih berpikir kalau sudah jadi petani, sudah jadi ojek, sudah selesai belajarnya.
5.     Untuk mengubah paradigma yang baik dimulai dengan mengubah mindset, mengubah mindset diawali dengan aktivitas membaca. Kita harus memiliki kemerdekaan dalam konteks berinovasi, kemampuan menggunakan daya nalar, dan kemampuan dalam pengembangan SDA. Ini eranya berpikir dan berbuat, esensinya bagaimana menerjemahkan pengetahuan kita untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Ini eranya knowledge mobilization. Harus saling bersinergi, baik antara perguruan tinggi dengan penguasa dan dengan lainnya. Jangankan kita, Amerika atau Eropa saja mereka nggak bisa hidup sendiri. Makanya mereka membuat organisasi ini itu. Bahwa ada perangkat desa tak peduli dengan pustaka desa itulah tugas kita dalam mengedukasi masyarakat dan melakukan transfer knowledge.
6.     Soal sinergi, silakan terus berkarya tetapi kita tidak bisa mengklaim sudah bekerja. Pertanyaannya berapa kelompok ekonomi yang sudah diciptakan dari aktivitas literasi yang kita lakukan? Berapa banyak testimoni dari masyarakat yang bisa mereka berikan atas kehadiran kelompok literasi di sana?
7.     Mengapa di Skandinavia penduduknya sangat bahagia? Karena mereka sangat baik terhadap dirinya, mereka menolong dirinya, mereka tahu apa yang harus dimakan, asupan apa saja yang harus masuk ke tubuh, semua ini karena literasi yang baik. Mereka percaya pada orang lain. Kalau di kita kan tidak, rumah sudah dikunci masih dicongkel juga.
8.     Saya bikin peta perjalanan masuknya ilmu pengetahuan ke Indonesia, satu-satunya pintu masuk itu dari Aceh. Saya punya peta gelombang ilmu pengetahuan di Indonesia pada masa Hindu Buddha, Pra-Islam, dan masa Eropa. Bagaimana dengan Prodi Pustaka, mari kita redefinisi secara frontal, harus kita ubah.
9.     Kebijakan kita memang belum banyak yang mengacu pada basis literasi tapi itu persoalan politis. Yang perlu kita ketahui wilayah negara kita sangat luas, kalau bicara infrastruktur rasanya tidak mungkin tercakup semua.

Penutupan:
Acara disudahi dengan penampilan dari dua penyair Aceh yaitu Fikar W. Eda dan Erwin Smong. Peserta juga dihibur dengan pembacaan puisi dari Pak Syarif Bando dan Pak Wildan.[]


Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama